Hari raya
‘Idul Fithri adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada satu
pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga tersebut.
Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran, tidak
sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan mudik
adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Namun ada beberapa
hal yang perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru dan
mungkar. Satu sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak pernah
ada dalil pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat.
Pertama: Tasyabbuh (meniru-niru)
orang kafir dalam berpakaian. Terutama kita lihat bagaimana model pakaian
muda-mudi saat ini ketika hari raya, tidak mencerminkan bahwa mereka muslim
ataukah bukan. Sulit membedakan ketika melihat pakaian yang mereka kenakan.
Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[1]
Menyerupai orang kafir (tasyabbuh) ini
terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh di sini
diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para ulama
(ijma’).[2]
Kedua: Mendengarkan dan memainkan
musik/nyanyian/nasyid di hari raya. Imam Al Bukhari membawakan dalam
Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari
Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak
berdusta, lalu beliau menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ
وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى
جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ
اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di
kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan
alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan
binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu
keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian
Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka
serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[3]
Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti
musik itu haram.[4]
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian
menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.”
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian
adalah mantera-mantera zina.”
Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan
merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[5]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Nyanyian
adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah
seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka
persaksiannya tertolak.”[6]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak
ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai
haramnya alat musik.”[7]
Ketiga: Wanita berhias diri ketika
keluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini berdasarkan
firman Allah,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di
rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah
pertama.” (QS. Al Ahzab: 33).
Abu ‘Ubaidah mengatakan, “Tabarruj adalah
menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah
menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan)
bagi kaum pria.”[8]
Seharusnya berhias diri menjadi penampilan istimewa si istri di hadapan suami
dan ketika di rumah saja, dan bukan di hadapan khalayak ramai.
Keempat: Berjabat tangan dengan
wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum muslimin apalagi
di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali yang dirahmati
oleh Allah. Perbuatan ini terlarang berdasarkan sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ
لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا
الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ
وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ
ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan
bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina
kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina
lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh).
Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan
berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari
yang demikian.”[9]
Jika kita melihat pada hadits di atas,
menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan
zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena
berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan sesuatu lain yang
haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram’.”[10]
Lihat pula bagaimana contoh dari suri
tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي لِمِائَةِ
امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي لِامْرَأَةٍ
وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak akan
bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti
perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita.“[11]
Kelima: Mengkhususkan ziarah kubur
pada hari raya ‘ied. Kita memang diperintahkan untuk ziarah kubur sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Sekarang ziarah kuburlah karena itu akan
lebih mengingatkan kematian.” [12]
Namun tidaklah tepat diyakini bahwa setelah
Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat
(yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur
agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Masalahnya, jika
seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa
setelah Ramadhan (saat Idul
Fithri) adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan
karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini. (Kita kembalikan kepada kebiasaan masyarakat setempat-pent)
Keenam: Tidak sedikit dari yang memeriahkan
Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk bersilaturahmi. Kaum pria
pun tidak memperhatikan shalat berjama’ah di masjid. Demi Allah, sesungguhnya
ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ
تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka
(orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia
telah kafir.”[13]
‘Umar bin Khottob rahimahullah pernah
mengatakan di akhir-akhir hidupnya,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim orang
yang meninggalkan shalat.”[14]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum
muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib
(shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan
dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina,
mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat
hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[15]
Adapun mengenai hukum shalat jama’ah, menurut
pendapat yang kuat adalah wajib bagi kaum pria. Di antara yang menunjukkan
bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ
فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً
فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ
”Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu
bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah
dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi
imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian
aku bakar rumah-rumah mereka”.[16]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ اُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا إِلاَّ مِنْ
عُذْرٍ
“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi
keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[17]
Ketujuh: Begadang saat malam ‘Idul
Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat
shubuh dan shalat ‘ied di pagi harinya. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau
berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[18]
Ibnu Baththol menjelaskan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena
beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput
dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah
memukul orang yang begadang setelah shalat
Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti
di akhir malam tertidur lelap?!”[19]
Takbiran yang dilakukan juga sering
mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum mengganggu
sesama muslim adalah terlarang. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
“Muslim (yang baik) adalah yang
tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.”[20]
Ibnu Baththol mengatakan, “Yang dimaksud
dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum
muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al
Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti
walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.”[21]
Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus
dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana
dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau
mungkin lebih dari itu?!
Kedelapan: Memeriahkan ‘Idul Fithri
dengan petasan. Selain mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana dijelaskan di
atas, petasan juga adalah suatu bentuk pemborosan. Karena pemborosan kata Ibnu
Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan pada jalan yang benar.
Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir
(pemborosan) adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang
keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[22]
Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ
الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu
adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).
Ibnu Katsir
mengatakan, “Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan
mengatakan: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan
demikian karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.[23]
Akhir kata: “Aku tidak bermaksud
kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna.
Artikel www.muslim.or.id
[1]
HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa
sanad hadits ini jayid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih
sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269.
[2]
Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash Shirotil Mustaqim, Wazarotu Asy Syu-un Al
Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun 1417 H, 1/363.
[3]
Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
[4]
Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam
Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab
Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.
[5]
Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi, Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405
H, hal. 289.
[6]
Lihat Talbis Iblis, 283.
[7]
Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.
[8]
Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 6/379-380.
[9]
HR. Muslim no. 6925
[10]
Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf Al Judai, Muassasah Ar Royan,
cetakan ketiga, 1425 H, hal. 41.
[12]
HR. Muslim no. 976.
[13]
HR. An Nasa’i no. 463, Tirmidzi no. 2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[14]
Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul Qayyim, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama,
1426 H, hal. 41.
[15]
Ash Sholah, hal. 7.
[16]
HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no. 651, dari Abu Hurairah.
[17]
Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 107
[18]
HR. Bukhari no. 568
[19]
Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy Syamilah, 3/278.
[20]
HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40
[21]
Syarh Al Bukhari, 1/38.
[22]
Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/474-475.
0 komentar:
Posting Komentar