Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wassallam, keluarga dan sahabatnya,serta pengikutnya hingga akhir zaman nanti.
Tuntunan zaman dan semakin canggihnya teknologi menuntut generasi muda
untuk bisa “membuka mata” akan hal itu. Sehingga orang tua pun berlomba-lomba
bagaimana bisa menjadikan anaknya pintar komputer dan lancar bercuap-cuap
ngomong English. Namun sayangnya karena porsi yang berlebih terhadap ilmu dunia
sampai-sampai karena mesti anak belajar di tempat les sore hari, kegiatan
belajar Al-Qur’an pun dilalaikan. Lihatlah tidak sedikit dari generasi muda
saat ini yang tidak bisa baca Qur’an, bahkan ada yang sampai buku Iqro’ pun
tidak tahu.
Merenungkan Ayat
Ayat ini yang
patut jadi renungan yaitu firman Allah Ta’ala,
“Mereka
hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang
(kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Ath Thobari rahimahullah menyebutkan
sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menerangkan mengenai maksud ayat di atas. “Yang
dimaksud dalam ayat itu adalah orang-orang kafir. Mereka benar-benar mengetahui
berbagai seluk beluk dunia. Namun terhadap urusan agama, mereka benar-benar
jahil (bodoh).” (Tafsir Ath Thobari, 18/462)
Fakhruddin Ar
Rozi rahimahullah menjelaskan maksud ayat di atas, “Ilmu mereka
hanyalah terbatas pada dunia saja. Namun mereka tidak mengetahui dunia dengan
sebenarnya. Mereka hanya mengetahui dunia secara lahiriyah saja yaitu
mengetahui kesenangan dan permainannya yang ada. Mereka tidak mengetahui dunia
secara batin, yaitu mereka tidak tahu bahaya dunia dan tidak tahu kalau dunia
itu terlaknat. Mereka memang hanya mengetahui dunia secara lahir, namun tidak
mengetahui kalau dunia itu akan fana.” (Mafatihul Ghoib, 12/206)
Penulis Al
Jalalain rahimahumallah menafsirkan, “Mereka mengetahui yang zhohir (yang
nampak saja dari kehidupan dunia), yaitu mereka mengetahui bagaimana mencari
penghidupan mereka melalui perdagangan, pertanian, pembangunan, bercocok
tanam, dan selain itu. Sedangkan mereka terhadap akhirat benar-benar lalai.”
(Tafsir Al Jalalain, hal. 416)
Syaikh Abu
Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan
ayat di atas, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti
mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan
perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka sungguh
lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana
penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan
menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)
Lalu Syaikh Abu Bakr Al Jazairi mengambil faedah dari ayat tersebut,
“Kebanyakan manusia tidak mengetahui hal-hal yang akan membahagiakan mereka di
akhirat. Mereka pun tidak mengetahui aqidah yang benar, syari’at yang membawa
rahmat. Padahal Islam seseorang tidak akan sempurna dan tidak akan mencapai
bahagia kecuali dengan mengetahui hal-hal tersebut. Kebanyakan manusia
mengetahui dunia secara lahiriyah seperti mencari penghidupan dari bercocok
tanam, industri dan perdagangan. Namun bagaimanakah pengetahuan mereka terhadap
dunia yang batin atau tidak tampak, mereka tidak mengetahui. Sebagaimana pula
mereka benar-benar lalai dari kehidupan akhirat. Mereka tidak membahas apa saja
yang dapat membahagiakan dan mencelakakan mereka kelak di akhirat. Kita
berlindung pada Allah dari kelalaian semacam ini yang membuat kita lupa akan
negeri yang kekal abadi di mana di sana ditentukan siapakah yang bahagia dan
akan sengsara.” (Aysarut Tafasir, 4/125)
Itulah gambaran dalam ayat yang awalnya menerangkan mengenai kondisi
orang kafir. Namun keadaan semacam ini pun menjangkiti kaum muslimin. Mereka
lebih memberi porsi besar pada ilmu dunia, sedangkan kewajiban menuntut ilmu
agama menjadi yang terbelakang. Lihatlah kenyataan di sekitar kita, orang tua
lebih senang anaknya pintar komputer daripada pandai membaca Iqro’ dan Al
Qur’an. Sebagian anak ada yang tidak tahu wudhu dan shalat karena terlalu
diberi porsi lebih pada ilmu dunia sehingga lalai akan agamanya. Sungguh
keadaan yang menyedihkan.
Bahaya Jahil (bodoh) akan Ilmu
Agama
Kalau seorang dokter salah memberi obat karena kebodohannya, maka
tentu saja akan membawa bahaya bagi pasiennya. Begitu pula jika seseorang jahil
atau tidak paham akan ilmu agama, tentu itu akan berdampak pada dirinya sendiri
dan orang lain yang mencontoh dirinya.
Allah telah
memerintahkan kepada kita untuk mengawali amalan dengan mengetahui ilmunya
terlebih dahulu. Ingin melaksanakan shalat, harus dengan ilmu. Ingin puasa,
harus dengan ilmu. Ingin terjun dalam dunia bisnis, harus tahu betul seluk
beluk hukum dagang. Begitu pula jika ingin beraqidah yang benar harus dengan
ilmu.
Allah Ta’ala berfirman,
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada
sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad:
19).
Dalam ayat
ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’.
Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu,
sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu
hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin
‘Uyainah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini
sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al
Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’
darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah
engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian
Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu
Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang
bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan
yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan
merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului
dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang
gila yang pena diangkat dari dirinya.“ (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Gara-gara
tidak memiliki ilmu, jadinya seseorang akan membuat-buat ibadah tanpa tuntunan
atau amalannya jadi tidak sah. Jika seseorang tidak paham shalat, lalu ia
mengarang-ngarang tata cara ibadahnya, tentu ibadahnya jadi sia-sia. Begitu
pula mengarang-ngarang bahwa di malam Jumat Kliwon dianjurkan baca surat Yasin,
padahal nyatanya tidak ada dasar dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka amalan tersebut juga sia-sia belaka.
Begitu pula jika seseorang berdagang tanpa mau mempelajari fiqih berdagang
terlebih dahulu. Ia pun mengutangkan kepada pembeli lalu utangan tersebut
diminta diganti lebih (alias ada bunga). Karena kejahilan dirinya dan malas
belajar agama, ia tidak tahu kalau telah terjerumus dalam transaksi riba. Maka
berilmulah terlebih dahulu sebelum beramal.
Mu’adz bin
Jabal berkata,
“Ilmu
adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”
(Al
Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Beramal tanpa ilmu membawa akibat amalan tersebut
jauh dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, akhirnya amalan itu jadi sia-sia dan tertolak.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa
melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.”
(HR. Muslim no. 1718)
Kerusakanlah yang ujung-ujungnya terjadi bukan maslahat yang akan
dihasilkan.
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berkata,
“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan
membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” (Al
Amru bil Ma’ruf, hal. 15)
Beri Porsi yang Adil
Bukan berarti
kita tidak boleh mempelajari ilmu dunia. Dalam satu kondisi mempelajari ilmu
dunia bisa menjadi wajib jika memang belum mencukupi orang yang capable dalam ilmu
tersebut. Misalnya di suatu desa belum ada dokter padahal sangat urgent
sehingga masyarakat bisa mudah berobat. Maka masih ada kewajiban bagi sebagian
orang di desa tersebut untuk mempelajari ilmu kedokteran sehingga terpenuhilah
kebutuhan masyarakat.
Namun yang perlu diperhatikan di sini bahwa sebagian orang tua hanya
memperhatikan sisi dunia saja apalagi jika melihat anaknya memiliki kecerdasan
dan kejeniusan. Orang tua lebih senang menyekolahkan anaknya sampai jenjang S2
dan S3, menjadi pakar polimer, dokter, dan bidan, namun sisi agama anaknya
tidak ortu perhatikan. Mereka lebih pakar menghitung, namun bagaimanakah
mengerti masalah ibadah yang akan mereka jalani sehari-hari, mereka tidak
paham. Untuk mengerti bahwa menggantungkan jimat dalam rangka melariskan
dagangan atau menghindarkan rumah dari bahaya, mereka tidak tahu kalau itu
syirik. Inilah yang sangat disayangkan. Ada porsi wajib yang harus seorang anak
tahu karena jika ia tidak mengetahuinya, ia bisa meninggalkan kewajiban atau
melakukan yang haram. Inilah yang dinamakan dengan ilmu wajib yang harus
dipelajari setiap muslim. Walaupun anak itu menjadi seorang dokter atau seorang
insinyur, ia harus paham bagaimanakah mentauhidkan Allah, bagaimana tata cara
wudhu, tata cara shalat yang mesti ia jalani dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
mesti setiap anak kelak menjadi ustadz. Jika memang anak itu cerdas dan
tertarik mempelajari seluk beluk fiqih Islam, sangat baik baik sekali
jika ortu mengerahkan si anak ke sana. Karena mempelajari Islam juga butuh
orang-orang yang ber-IQ tinggi dan cerdas sebagaimana keadaan ulama dahulu
seperti Imam Asy Syafi’i sehingga tidak salah dalam mengeluarkan fatwa untuk
umat. Namun jika memang si anak cenderung pada ilmu dunia, jangan sampai ia
tidak diajarkan ilmu agama yang wajib ia pelajari.
Dengan paham
agama inilah seseorang akan dianugerahi Allah kebaikan, terserah dia adalah
dokter, engineer, pakar IT dan lainnya.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang Allah
kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang
agama.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 1037)
Ingatlah pula bahwa yang diwarisi oleh para Nabi
bukanlah harta, namun ilmu diin(agama).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya para Nabi
tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa
yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak.” (HR Abu Dawud no. 3641 dan
Tirmidzi no. 2682, Shahih)
Semoga tulisan
ini semakin mendorong diri kita untuk tidak melalaikan ilmu agama. Begitu pula
pada anak-anak kita, jangan lupa didikan ilmu agama yang wajib mereka pahami
untuk bekal amalan keseharian mereka. Wallahu
waiyyut taufiq. (*)
Riyadh-KSA, 14 Rabi’uts Tsani 1432 H (19/03/2011)
0 komentar:
Posting Komentar