Pendidikan
Islam harus bisa bermutu dan berisi serta masuk dalam seluruh aspek kehidupan.
Nilai-nilai Islam menjadi sebuah budaya dan bahkan peradaban. Islam mengajarkan
tentang hidup santun, saling menghargai, saling menghormati, kasih dan sayang
kepada orang tua, guru, orang yang lebih tua, atau sesama. Menghindar dari
perbuatan tercela seperti berbohong, tidak jujur, dan tidak amanah. Selalu
mendekat pada Allah melalui kegiatan spiritual seperti banyak mengingat Allah,
mendirikan sholat berjama’ah, membaca al Qur’an dan lain-lain, sehingga
nilai-nilai Islam terasakan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak
orang berlomba-lomba mencari harta dan menabungnya untuk simpanan di hari
tuanya. Menyimpan harta tentunya tidak dilarang selagi ia mencarinya dari jalan
yang halal dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya atas harta tersebut,
seperti zakat dan nafkah yang wajib. Namun ada simpanan yang jauh lebih baik
dari itu, yaitu amal ketaatan dengan berbagai bentuknya yang ia suguhkan untuk
hari akhir. Suatu hari yang tidak lagi bermanfaat harta, anak, dan kedudukan.
Harta memang membuat silau para pecintanya dan membius mereka sehingga seolah
harta segala-galanya.
Tak
heran jika banyak orang menempuh cara yang tidak dibenarkan oleh syariat dan
fitrah kesucian seperti korupsi, mencuri, dan menipu. Padahal betapa banyak
orang bekerja namun ia tidak bisa mengenyam hasilnya. Tidak sedikit pula orang
menumpuk harta namun belum sempat ia merasakannya, kematian telah menjemputnya
sehingga hartanya berpindah kepada orang lain. Orang seperti ini jika tidak
memiliki amal kebaikan maka ia rugi di dunia dan di akhirat. Sungguh betapa
sengsaranya.
“Harta
dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal
lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk
menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 46)
Tanggung jawab terhadap pertumbuhan
generasi muda merupakan sebuah tanggung jawab yang besar. Terlebih pada keluarga
yang memiliki peran dalam membangun dan mengarahkan anak ke jalan yang baik dan
benar. Karena anak itu adalah amanah dan tonggak pemegang tongkat estafet dalam
dakwah islam. Dari sebuah keluarga itulah seorang anak bisa mendapatkan
pendidikan madrasah pertama dari seorang ibu. Hal ini mengandung arti bahwa
orang tua memberikan pengaruh yang cukup bermakna bagi terwujudnya putra putri
generasi muda yang beriman dan bertaqwa kepada Allah subhanahu wa Ta’ala serta
berakhlak mulia.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Wahai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, para penjaganya adalah
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. at-Tahrim:6)
Orang tua juga memberi andil besar dalam
pendidikan anak. Lewat tangan dingin orang tua yang sholeh sholehah seorang
anak dapat tumbuh dalam bimbingan agama yang baik dan benar. Sebaliknya, jika
pendidikan anak dalam keluarga kurang diperhatikan terlebih dari sisi agama,
maka orang tua yang semacam inilah yang merubah atas fitrah Allah Ta’alaa,
sebagaimana dalam sebuah riwayat hadits,
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Seorang bayi tidak dilahirkan (ke
dunia ini melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang
tuanyalah yang akan membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi —
sebagaimana hewan yang dilahirkan dalam keadaan selamat tanpa cacat. Maka,
apakah kalian merasakan adanya cacat?' Lalu Abu Hurairah berkata, "Apabila
kalian mau, maka bacalah firman Allah Subhanahu wa Ta’alaa yang berbunyi:
'...tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya
itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah.' (Qs. Ar-Ruum (30): 30). (HR.
Muslim 1861)
Memilih
Panutan yang Baik
Sebagai seorang yang beriman kepada
Allah dan hari kemudian, apabila ia mendidik anaknya tentu memilih idola yang
baik, yang akan memberi manfaat bagi pembinaan rohani pada diri sang anak.
Banyak dalam ayat al-Qur’an, Allah Ta’ala menceritakan kisah-kisah keteladanan
para Nabi dan Rasul untuk menjadi panutan bagi orang-orang yang beriman dalam
meneguhkan keimanan mereka.
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan semua kisah para rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu, dan dalam
surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman” (QS. Huud:120).
Ketika menjelaskan makna ayat ini,
syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Yaitu:
supaya hatimu tenang dan teguh (dalam keimanan), dan (supaya kamu) bersabar
seperti sabarnya para Rasul ‘alaihimush sholaatu wa salaam, karena jiwa manusia
(cenderung) senang meniru dan mengikuti (orang lain), dan (ini menjadikannya
lebih) bersemangat dalam beramal shaleh, serta berlomba dalam mengerjakan
kebaikan…” (Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 392))
Dalam hal ini, idola terbaik bagi
seorang muslim adalah Nabi mereka, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Idola yang utama bagi seorang mukmin
adalah orang-orang yang teguh dalam menegakkan agama Allah dan keimanan mereka,
sehingga Allah Ta’ala sendiri yang memuji perbuatan mereka sebagai “suri teladan yang baik” dalam
firman-Nya,
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang
baik bagimu pada diri (nabi) Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (yang
mengikuti petunjuknya)...” (QS. al-Mumtahanah:4).
Dalam hal ini, Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa
di antara kamu yang ingin mengambil teladan, maka hendaknya dia berteladan
dengan para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena mereka
adalah orang-orang yang paling baik hatinya di umat ini, paling dalam pemahaman
(agamanya), paling jauh dari sikap berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya,
dan paling baik keadaannya, mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah
untuk menjadi sahabat nabi-Nya, maka kenalilah keutaman mereka dan ikutilah
jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas petunjuk yang
lurus” (Lihat “al-Mu’in ‘ala tahshili adabil ‘ilmi” (hal. 50) dan “Ma’alim
fi thariqi thalabil ‘ilmi” (hal. 124).
Demikianlah, semoga kita bisa dimudahkan
dalam mempelopori perubahan dalam generasi muda maupun sebagai pelopor
pendidikan islami bagi kalangan generasi muda. Dan kita mohon kepada Allah
Subhanahu wa Ta’alaa agar generasi yang muncul dalam agama ini terus diberikan
limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Aamiin.
Hasan Bashri
0 komentar:
Posting Komentar